Mencumbu "SLAMET"



Kamis, 28 Maret 2013

"Waduh, tiket ke Purbalingga habis. Bus yang ke sana juga ga ada lagi."

Kala itu senja Terminal Cicaheum Bandung mulai berganti gelap. Tapi masih ada tujuh orang yang belum dapat tiket bus menuju Purbalingga. Saya, Wildan, Godi, Aji, Fiersa, Arie, dan David adalah calon penumpang bus menuju kesana. Kecuali Dian, dia bersama tim Nadya sudah pegang tiket duluan untuk ke Purbalingga, AC pula.

"Naik bus yang ke Wonosobo aja. Nanti minta turun di Purbalingga. Atau naik bus ke Purwokerto. Nanti sambung lagi naik elf sampe Serayu." ujar Nadya.

Saya dan Godi (kalau ga salah) langsung agak mempercepat langkah mencari bus menuju Wonosobo atau Purwokerto. Bus menuju Wonosobo kami dapat, tapi sayang ada kesalahpahaman saat booking kursi, alhasil itu adalah bus Wonosobo yang terakhir. Dan kami cari lagi bus menuju Purwokerto. Ada!

Bus Pahala Kencana (kata supirnya, padahal tulisannya Aladin) mengantar kami bertujuh menuju Purwokerto. Langit gelap pukul 07.00 menjadi atap kami saat itu. Tak disangka tak dinyana, ternyata perjalanan menggunakan bus ekonomi yang seekonomi-ekonominya ini adalah kali pertama untuk Bung Arie. Sempet bengong di bus waktu awal jalan. Diem. Mungkin dia lagi adaptasi tubuhnya sama keadaan bus waktu itu. Godi yang duduk terpisah jauh dari enam lainnya, adem ayem di kursi dekat supir. Mungkin sedang pedekate sama Pak Supir, siapa tau Pak Supir mau beli produk Gonradiga.

Jumat, 29 Maret 2013
Waktu menjelang adzan Subuh menyambut. Pukul 04.00 Waktu Indonesia bagian Purwokerto menjadi latar kedatangan kami. Suasana terminal mulai agak ramai dengan orang-orang yang berangkat ke pasar sekitar. Sambil meregangkan kaki-kaki yang terlipat lama di dalam bus, kami menunggu tim Dewa CS yang rencana awal naik bus bareng kami dari Bandung dan karena lain hal harus bertemu di terminal Purwokerto.

Sedatangnya Dewa CS, kami melanjutkan perjalanan menuju Serayu. Menggunakan satu elf yang penumpangnya menuju Slamet semua. Turun di Serayu, melanjutkan perjalanan sampai basecamp Bambangan. Sebenernya Bambangan atau Blambangan sih? Banyak yang bilang Bambangan, tapi tak sedikit pula yang menyebut Blambangan. Bambangan aja deh, biar ngirit satu huruf.

Tiba di basecamp Bambangan yang dikelola Pak Suwandi, ternyata gunung tujuan kami sudah terlihat jelas dari kejauhan. Dari jauh sudah sangat cantik, kami ingin segera mendaki namun apa boleh dikata, kami harus menunggu tim Nadya karena ada barang yang harus dibawa tim kami, tapi masih dalam perjalanan bersama Nadya. Tim Nadya ternyata masih jauh dari Purbalingga. Busnya sempat mogok dua kali dan sedikit mengubah keberangkatan pendakian kami. Siang harinya, basecamp kedatangan putri Jogja, Mbak Widya yang selalu turut serta dalam pendakian kami.

Saat itu basecamp sangat ramai dipenuhi para pendaki dari berbagai penjuru pulau Jawa. Mereka memilih mendaki setibanya di basecamp, termasuk Tim Nadya. Setibanya di basecamp sore hari, mereka beristirahat sejenak kemudian memulai pendakian menjelang adzan magrib. Tapi tim kami memutuskan untuk mendaki keesokannya pukul 03.00. Karena dengan pertimbangan, keadaan fisik tim sudah lelah, belum tentu pula mendapat lahan untuk mendirikan tenda, mengingat jumlah pendaki yang mendaki hari itu mencapai 200 orang lebih. Kami memilih istirahat total untuk pendakian yang total pula.

Sabtu, 30 Maret 2013
Saya gatau waktu itu alarm siapa yang bunyi. Kayaknya sih alarm saya, cuma dimatiin lagi. Haha. Dan akhirnya melihat waktu sudah pukul 02.00, saya menyengajakan untuk bangun.  Melihat teman-teman yang lain sedang mengepak kembali barang-barangnya, terlihat pula raut wajah Widya yang saat itu nampak galau, entah kenapa saya mengarah kesitu. Setelah sejenak mengumpulkan nyawa, saya melanjutkan merapikan sleeping bag, mencuci muka, dan re-packing.

Kami bersembilan ditambah seorang solo hiker, Mas Erwin, yang gabung dalam pendakian tim kami mulai memastikan bahwa semuanya telah siap. Senter atau headlamp adalah teman terdekat saat itu yang menyentuh raga.

Pendakian kami mulai diantar fajar, adzan subuh yang menggema membuat kami memutuskan mengambil waktu untuk istirahat sejenak. Beberapa ada yang sholat, beberapa ada yang nonton sholat, beberapa ada yang mengambil gambar, beberapa ada yang duduk saja, dan beberapa ada yang menikmati sekitar, termasuk saya.

Tak terlalu lama setelahnya, kami melanjutkan pendakian. Pos-pos pendakian sudah tak sabar ingin dipijak. Sampai di Pos 1, kami dipertemukan dengan pendaki-pendaki lain yang bermalam di situ.

"Ya ampun, Pos 1 aja ini pada nge-camp, gimana di pos yang lain."

Di Pos 1 dipenuhi oleh tenda-tenda para pendaki yang memulai pendakian kemarin sore. Kami bertemu dengan pendaki yang sedang merapikan peralatannya untuk melanjutkan pendakian. Tak lama istirahat sejenak, kami melangkahkan kembali kaki-kaki kami mendekati ujung tanah tertinggi Jawa Tengah itu. 

Jarak dari basecamp ke Pos 1 memang terhitung paling jauh. Dari Pos 1 sampai ke Pos 2 juga termasuk cukup jauh. Sepanjang pendakian menuju Pos 2 banyak pendaki yang mendirikan tenda di lahan-lahan datar. Istirahat menjadi surga dunia saat itu. Kembali meregang kaki di Pos 2 yang cukup banyak pula tenda berdiri. 


Di Pos 2 kami tiba kurang lebih pukul 10.00. Pendakian yang kami mulai pukul 03.30 dari basecamp merupakan pendakian cukup lama mencapai Pos 2. Masih ada lima pos lagi menuju Pos 7, tempat kami akan bermalam sebelum summit attack. Rencana sampai di Pos 7 pada pukul 15.00 adalah target. Karena dikhawatirkan berebut lahan untuk mendirikan tenda dengan pendaki lain, mengingat kembali pendaki yang berjalan sedang banyak. 


Akhirnya, tim kami dibagi dua. Saya, Arie, Dian, Wildan, dan Godi terlebih dahulu mengejar sampai di Pos 7. Ajie, Fiersa, David, Widya, dan Mas Erwin mengambil nafas lebih lama di Pos 2. Detik berganti menit, menit berganti jam, langit biru berganti abu, lima orang pertama yang memulai kembali langkah dari Pos 2, terbagi lagi. Saya dan Arie menjadi dua orang yang sedang berjuang supaya mendapat lahan di Pos 7. 


Jauh dari teman-teman delapan orang di belakang, kami berdua terus melangkah. Dengan stok air minum yang cukup untuk berdua dan logistik menipis. Sempat sesekali saat mengambil waktu istirahat, saya ditawari biskuit cokelat dari pendaki lain dan tanpa malu saya mengiyakan tawarannya bahkan sampai hampir saya habiskan. Jangan ditiru, saya pendaki tak tahu diri :p


Tengah perjalanan menuju Pos 4, langit menitikan air-airnya. Hujan cukup awet membuat perjalanan agak sedikit licin. Jas hujan adalah teman bisu paling pengertian saat itu. Akhirnya sampailah dua orang manusia ini di Pos 5, pos paling banyak dipenuhi oleh tenda warna-warni, semacam seperti karnaval atau sudah bisa dibilang sebuah kelurahan. 


Pos 5 menjadi pertemuan saya dengan tim Dewa. Saya agak sedih saat itu karena rencana saya bersama Dewa untuk memakai toga di Puncak Slamet tidak terlaksana. Dewa yang ternyata bermalam di Pos 3 sudah lebih dulu mengabadikan almamaternya di atas sana. 


Di pos ini juga menjadi latar tatap mata saya dengan Ratna dan Tiara, dua calon dokter sekaligus duo maya, calon penyanyi kondang rumah sakit nampaknya di masa depan. Semenjak mendaki kemarin petang, mereka ternyata sama sekali belum istirahat tidur. Demi Slamet. Tak lama bersahut ria dengan duo maya itu, pun saya berpapasan dengan Nadya yang sama belum tidur juga sejak mulai pendakian. Tidurnya di jalan sembari istirahat mendaki. 


Saya dan Arie tak lama berdiam diri di Pos 5. Mengingat masih ada satu pos lagi menuju lahan kami bermalam. Ceritanya balapan sama pendaki lain biar bisa pasang tenda. Di Pos 5 saya hanya tengok sekitarnya, barangkali ada teman yang saya kenal dan siapa tahu bertemu Waldi di sini, seorang kawan dari Bogor, teman di BBM yang mendaki juga ke Slamet. Ah, tapi terlalu ramai. Mungkin belum waktunya bertatap wajah dengan anak itu. 


Langit abu kembali menjadi biru, sangat mendukung setiap pijak kaki saya dengan Arie menuju pos selanjutnya. Kurang lebih satu jam, Welcome to Pos 7. Sedikit dari kejauhan, Pos 7 nampak agak penuh, berharap tenda-tenda yang berdiri di sana adalah tenda-tenda yang akan dirapikan. Namun bukan, itu adalah tenda-tenda yang baru didirikan. Fiuh. Terlambat sedikit. 


Hujan menyambut kedatangan saya dan Arie di Pos 7, tepat pukul 14.00 Waktu Indonesia bagian Gunung Slamet. Sambil menunggu reda, beristirahat di shelter di sana adalah nirwana. Dingin gunung dan hujan membuat perut saya berteriak. Saat itu saya melihat ada seorang pria tambun yang ditinggal temannya menuju puncak. Spontan sorot mata saya mengarah pada sebungkus mie instan yang dia makan mentah dengan enaknya. Saya ajak ngobrol pria itu dan sesekali meneguk ludah karena ada sesuatu yang melambai-lambai ke arah saya, iya itu mie instan. Dan seketika terlontar saja dari bibir ini.


"Mas, saya boleh minta mie-nya? Cemilan-cemilan tim saya di bawa teman-teman yang masih jalan ke sini. Saya bawa logistiknya mentah nih."

Dan disodorkannya bungkus mie warna hijau itu, rasa soto. Seperti menemukan Alfamart di Gunung Slamet. Dengan hati berbunga-bunga saya santap makanannya itu. Semoga pria itu masuk surga. Arie yang diam saja, memperhatikan kejadian itu. Mungkin dalam hatinya dia bergumam tentang kelakuan saya. Entah apakah saat itu dia masih menganggap saya orang yang dikenalnya atau tidak. Biarlah.


Hujan cukup awet, saya dan Arie sempat terlelap dalam shelter bersama pendaki yang berteduh di situ. Hingga akhirnya reda, saya dan Arie menuju lahan di bawah Pos 7 untuk segera mendirikan tenda pertama, tenda kapasitas tiga orang, tenda yang saya sebut Tenda Geje Oranye milik Fiersa. Saya sebut lahan ini adalah Pos 6,8. Lahan itu cukup untuk mendirikan dua tenda lagi yang dibawa Dian, tenda kapasitas tujuh orang, dan tenda Widya, kapasitas empat orang. Saya dan Arie belum mengetahui bahwa tenda Widya ternyata ditinggal di basecamp. Tapi kami berdua tetap mempertahankan bahwa lahan yang cukup untuk tiga tenda itu adalah teritori tim kami. 


Setelah Tenda Geje Oranye Fiersa didirikan, kami berdua menghangatkan diri. Lagi-lagi surga. Diiringi rasa khawatir dengan keadaan teman-teman yang delapan lainnya, saya dan Arie mulai berlagak detektif karena waktu sudah menunjukan hampir pukul 17.00, tapi mereka belum kunjung tiba. Lahan dua tenda lainnya sempat menjadi sengketa dengan pendaki lain. Saya cukup banyak mencegah pendaki yang akan mendirikan tenda di lahan yang sudah saya booking. Tapi ada satu pendaki yang memohon-mohon untuk mendirikan satu tenda di situ. Dengan berbagai perhitungan, akhirnya saya dan Arie merelakan satu lahan untuk mereka. Tak apa, cuma dua tenda cukup deh untuk tim kita. 


Langit tambah abu bercampur sedikit jingga, kabut memperhatikan kami berdua yang mendekap dalam tenda. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi. Anak-anak belum tiba juga. Salah satu dari saya atau Arie harus turun ke bawah, menyusul yang lain, takut terjadi apa-apa. Berbagai analisis dalam pikira saya dan Arie keluar. Mulai analisis SWOT, analisis keuangan, sampai analisis apalah itu namanya, ga ngerti :|


Saking cemas dengan keadaan mereka, saya sampai titip pesan sama pendaki mau turun yang gatau siapa namanya, yang pokoknya saya doain juga dia masuk Surga Firdaus. Saya titip pesan sama dia,"Mas boleh titip pesan? Kalau ketemu orang pake syal batik di kepala, pake celana item kaya pencak silat, bilangin sama dia, dua temennya udah nunggu di sini gitu ya. Mas, makasih banget!"

Hampir menunjukkan pukul 18.00, belum ada batang hidung dari salah satu anak-anak, akhirnya diputuskanlah Arie untuk turun kembali. Stelan jas hujan lengkap sudah dia pakai. Hujan menjadi pengiring Arie dalam perjalanan menyusul mereka. Tetiba, terdengar suara memanggil "Hoi..hoi.. !!!" Saya menyahut balik,"Hoi.. Dian bukan? Dian!? Dian?!" Tak ada pengiyaan. Duh, bukan Dian lagi, gumam hati. 


"Ya udah, Rie. Hati-hati ya. Saya jaga tenda, sama jaga lahan takut ada pendaki lagi yang pasang tenda disitu."


Tetiba ada langkah kaki mendekati Pos 6,8 itu. Saya mengintip dari balik pintu tenda sembari menyimak sumber langkah rintih itu. Dan munculah pria dengan sorban batik di kepala, sedikit tertutup jas hujan.


"Dian!!! Rie, itu Dian!"


"DIAAAAAANNN..... !!!!!" saya dan Arie berteriak bersamaan. 


Adalah sebuah hal paling membahagiakan bagi saya dan Arie atas kedatangan Dian. Seorang diri yang menyusul kami. Tak lama dari itu, disusul pula oleh Godi dan Wildan yang tiba di Pos 6,8. Tanpa lama, tenda yang Dian bawa kami dirikan. Sambil bercerita mengenai keadaan yang lain. Terdengar bahwa dari Pos 3, Dian sempat turun kembali ke Pos 1 untuk mengantar Widya yang sudah tidak kuasa meneruskan pendakian. Semoga Widya baik-baik saja, pikiran juga hatinya.


Lengkaplah sudah tim kami. Ajie, Fiersa, dan David tiba sudah di Pos 6,8. Mas Erwin yang entah berpisah dimana dengan mereka, mungkin juga sedang menikmati malam bersama tim pendaki lain. Aktivitas makan malam dan bersenda gurau kami selesaikan. Rencana summit attack pukul 03.00 nanti adalah rencana terbaik, mengingat dengan segala keadaan bahwa Mr. Wei (gatau gimana nulisnya) alias Gan alias David yang ternyata di akta kelahirannya namanya cuma satu kata aja, harus segera masuk kuliah kelas pagi di hari Senin.


Minggu, 31 Maret 2013

"Bangun .. bangun... Jam 03.00 !!!"

Saya kenal betul suara itu. Alarm alami yang menggoyangkan kami yang tertidur. Suara Pak Haji Godi yang mengguncang jiwa-jiwa terlelap. Saya terbangun. Memaksa untuk membuka mata. Rasanya ingin lima menit lagi saja menyentuh mimpi sebentar lagi. Tapi karena waktu sudah di luar rencana, akhirnya anak-anak bergegas. 


Lampu senter, jaket, penutup kepala menjadi seperangkat yang tak terlupakan. Sangsaka merah putih dan toga Universitas Widyatama adalah barang wajib saya saat itu. Wildan dan Ajie tak ikut serta dalam pendakian gelap. Maka, berangkatlah enam orang dari Pos 6,8 bersama pendaki lain yang turut menuju tanah tertinggi. 


Nafas kami kembali terengah-engah. David sudah nampak tak sanggup. Namun masih berusaha menapak langkah. Sampai akhirnya tiba di Pos 8, melihat masih ada tanjakan yang mungkin baru pertama kali dia hadapi, pemuda Riau itu memutuskan untuk menghentikan langkahnya. 

"Kamu masih kuat?" Fiersa memberi tanya.
"Aku di sini aja. Di sini juga bagus kok. Ga apa-apa."

Godi dan Dian yang sudah lebih jauh melangkah mendahului saya, Fiersa, dan Arie. David yang memilih menikmati matahari di pos terakhir, kami tinggalkan. Terdengar sayup-sayup akan ada panggilan sembahyang subuh, kami terus mendaki. Terkadang beristirahat di punggungan gunung adalah hal yang sangat keren. Menghadap kota dan kelip-kelip lampu yang masih genit dalam kegelapan membuat saya sedikit sering berhenti. 

Udara dan angin yang mulai menusuk tulang perlahan membuat saya lebih banyak bergerak daripada diam. Sesekali saya menengok ke belakang, memastikan bahwa matahari akan terbit, dan kamera digital jadul yang saya bawa setidaknya menangkap beberapa gambar itu.

Pukul 06.30 pagi Waktu Indonesia bagian Puncak Slamet adalah waktu yang sepertinya menjadi waktu untuk musisi gadungan. Dian, yang dari sudut 75 derajat terlihat seperti Anjie Drive dan saya, yang banyak orang bilang mirip Mita The Virgin, menjadi dua orang yang meraih Slamet lebih dulu. Gunung kembar Sindoro dan Sumbing dengan manis melambaikan ujung-ujungnya.

Kenapa Tuhan meletakannya seperti itu?

Saya dan Dian melanjutkan langkah menuju kawah. Di situ ada sebuah tugu yang kami kira puncak, ternyata batas kabupaten. Tak terlewatkan, momen-momen cantik kami abadikan. Dian bersama sangsaka yang saya bawa, dan saya bersama pakaian almamater yang dipakai di atas sana. 









Saya kembali ke puncak utama. Terlihat dari kejauhan teman-teman yang lain sedang duduk-duduk dan terkejut ternyata ada David juga di situ. Padahal kata-katanya saat ditinggal di Pos 8 masih sangat jelas terngiang di telinga saya. Tim Sidoarjo yang membuatnya bisa sampai di atas. 

"Jauh-jauh dari Pekanbaru ga sampe puncak..."

Saya sedikit lupa kata-katanya, yang pasti kalimat yang dilagukan itu menjadi pendorong kuat David untuk meneruskan pendakian sampai puncak. Keren. Selamat datang di Puncak Slamet, David.

Kembali menjadi enam orang yang ternyata berjalan tanpa logistik. Sampai akhirnya sang penolong Ridho Roma dan teman-temannya menjadi penyelamat perut-perut kami. Agar-agar, susu cokelat, dan mie goreng menjadi sangat mewah di atas sana. Lebih mahal dari Abuba Steak barangkali.



Suasana di atas sana sangat membuat saya ingin diam lebih lama. Belum ingin pulang. Adalah canda tawa dan berbagi cerita menjadi dua hal yang memelukku dengan hangat. Meski lambat laun, kabut mulai mengusir kami dengan halus. 

Perjalanan turun menuju Pos 6,8 menjadi pertemuan kami berenam dengan Wildan dan Ajie yang ternyata ada niat menyusul menuju puncak. Tanpa meneruskan ke atas sana, jadilah delapan orang kembali ke tanah tenda. Menyelesaikan aktivitas saat itu dan merapikan barang-barang untuk segera turun. 

Sore hari yang sedikit horor untuk saya pribadi. Tiba di Pos 2, hujan turun deras, petir menyambar dengan sukacita. Saya seorang diri di tempat itu bergegas menutupi tubuh dengan jas hujan plastik orang kaya (satu kali pakai, buang). Dan melanjutkan menuju jalur yang ternyata bukan jalur menuju Pos 1. Perasaan saya semakin tidak enak, jalur yang aneh, dan lebih sempit, lebih banyak dihalangi pepohonan yang menjalar ke tengah-tengah jalur. Saya kembali ke atas, meraih kembali Pos 2 untuk mendapat jalur yang sesungguhnya. Dengan jantung yang berdetak lebih cepat, saya temukan kembali Pos 2 dan mengambil jalur yang tepat. Hampir saya masuk koran atau masuk berita di media sosial karena ada pemudi hilang. Tuhan, saya mohon ampun.

Sore berganti petang. Sampai akhirnya malamlah yang menutup hari pendakian kami. Menjadi kisah yang mengisi kekosongan album kenangan kami. Cerita tak sedap didengar biar jadi sejarah lisan yang akan terucap lagi di lain waktu dan menjadi bahan tertawaan. 

Terima kasih, 3428. Dengan seluruh jerih payahmu memuaskan hasrat kami di ujungmu, dengan semua pesona yang tak sanggup kau dekap sendiri, kau berbagi pada kami. Entah waktu mana yang akan mempertemukan lagi denganmu. Entah kembali berjalan di jalan-jalan tubuhmu atau sekedar memandangmu dari ujung semesta yang lain. 

Pun saya haturkan kepada sejawat kebersamaan. Selalu ada yang hebat bersanding denganmu. Haru yang ada tak pernah berarti karena bahaklah yang selalu terjadi. 

Ujung tertinggi tanah adalah hasil melangkah. Bersamamu, perjalanan adalah tujuan. 

Kamu, kawan. Kamu.

***

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "Mencumbu "SLAMET""

faisal mengatakan...

keren pengalaman pendakiannya,...
ane suka kata2 penutup ceritanya...

salam.....

Andini Anisa mengatakan...

Trims Korep...
:)
pendakiannya ga akan hebat kalau ga ada MEREKA. Kawan-kawan yang mendaki bersama... :)
Yang pasti, TUHAN MAHA KEREN :)
Salam Indonesia :)

I Putu Adi Pratama mengatakan...

wah, mba, itu niat banget, sampe bawa2 toga ke gunung..

asik cerita perjalanannya..

salam