Kamu yang Tak Pernah Hadir, Kini Menjadi Takdir

Pernikahan bagi sebagian orang adalah impian, sesuatu yang harus dikejar. Sebagian lagi menganggapnya seperti sesuatu hal yang akan datang dengan sendirinya. Bagi saya pernikahan itu sama rasanya seperti panggilan jiwa. Selalu seperti ada yang membisikan isi hati, seperti hantu yang menyenangkan.
"Ayo nikah... Kamu sudah mantap, kok!"
 
Terngiang tapi tak mengganggu. Memang sulit dijelaskan, tapi begitulah rasanya. Hasrat. Syahwat. Bukan karena melihat teman-teman sudah lebih dulu menikah karena bagi saya pernikahan bukan pertandingan, tapi soal kemantapan untuk menetap pada satu hati.

Yakin sudah merasa mantap akhirnya saya memutuskan tidak ingin pacaran. Meskipun pengalaman pacaran ga lebih dari dua kali, tapi saya sudah merasa lelah dengan semua drama-drama. Rasanya sudah tak mau lagi membuang waktu untuk hal yang belum pasti. 

Rasa mantap itu berjalan saja mengalir dengan kegiatan saya sehari-hari, tanpa sengaja mencari "dia" untuk memenuhi keinginan saya menikah itu. Rasa itu dibiarkan saja mengikuti saya kemanapun dan dengan siapapun. 

"Prem kapan nikah?"
"Tahun 2015." jawabku.  
"Ih, tahun depan dong!"
 "Ye elah... 2015 kan ada 12 bulan kan yah. Bleeeee."
"Iya, yah...Sama siapa? Kenalin!"
"Ada. Cuma belum diketemuin. Hehe." jawabku dengan canda namun percaya diri.

Tak sedikit yang menertawakan atau yang meremehkan dialog itu. Teman atau bahkan keluarga. Tapi entah mengapa, tidak sedikitpun saya putus asa karena belum ada si "dia". Terkadang saya sengaja memancing pertanyaan "kapan nikah" kepada teman-teman supaya mereka bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama sehingga saya bisa menjawab sama persis seperti di atas. Ya, memang saya targetkan akan menikah di 2015. Jadi setiap siapa saja yang bertanya kapan saya menikah, saya menjawab tahun 2015.

Hidup saya lewati seperti biasa. Bekerja di tempat baru, mengikuti komunitas baru, masih bermain dengan kawan lama. Banyak berteman dengan orang baru, namun bukan tujuan untuk mencari pasangan tapi karena memang saya senang punya kawan baru. Seiring berjalan, beberapa pria memang sempat mendekati. Saya menikmatinya saja, tidak berpikir bahwa mereka akan menjadi salah satu bagian hidup saya nantinya. Sempat juga saya naksir dengan beberapa orang, saya juga menikmatinya saja, tidak mau terburu-buru menentukan "saya ingin dia jadi pasangan saya".


Tahun 2014 sudah berlalu. Memasuki tahun 2015, saya masih menikmati hidup seperti biasa. Tidak ada sama sekali rasa khawatir karena belum ada batang hidung si calon untuk menemani saya di pelaminan. Makin hari saya makin pasrah aja. Saya hanya terus berafirmasi bahwa saya pasti akan menikah di tahun ini, kalau pun ternyata meleset atau bahkan tidak jadi menikah sama sekali, pasti ada alasan di balik semuanya. 

Tapi Tuhan memang Maha Unik, Maha Asik. Di bulan Februari 2015 saya didekatkan dengan "dia". Dia adalah temannya teman dekat saya, teman sangat dekat sampai saya menganggapnya saudara. Saya masih ingat betul pernah berkenalan sebelumnya di tahun 2014 beberapa kali dan sangat ingat bahwa dia masih punya kekasih. Malah perkenalan pertama dengannya, saya juga berkenalan dengan kekasihnya. Tapi saat itu saya hanya berpikir "Oh, saya kenal dengan teman baru. Mungkin kalau nanti ketemu di jalan bisa menyapa..."

Dia mulai mendekati. Bukan kegedean rasa sih, tapi Si Pendiam ini cukup aneh untuk memulai percakapan. Karena beberapa kali bertemu dia memang tak banyak bicara bahkan saya yang biasanya cerewet sama orang baru juga tak terlalu banyak bertanya padanya, karena dia benar-benar pendiam. Saya tak banyak membalas di messenger, seperlunya saja karena saya berpikir dia adalah teman baru kenal. Dan yang saya tahu dia masih ada kekasih, jadi saya membatasi jarak. Sampai suatu hari saya merasa heran ketika pertama kalinya dia minta saya menemaninya makan malam dekat rumah saya, yang kebetulan dia sedang dekat di daerah situ.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu...
Pendekatannya biasa saja. Berbalas pesan seperlunya dan tanpa drama. Masih ga ada pikiran akan ada jalan menuju hubungan yang lebih jauh.

22 Juni 2015

Anak-anak kecil berkeliling membangunkan para warga untuk sahur. Saya cukup tak menghiraukan dan tetap tertidur. Setengah sadar, setengah pulas, saya merasa lampu kamar menyala dan ada beberapa orang masuk kamar tidur. Saya kira saya bermimpi. Dan , banyak suara laki-laki di sekitar saya. Ya ampun! Apa-apaan ini! Selimut saya ditarik. Saya kembali merebut selimut dan menutup tubuh sampai kepala. Suara-suara itu membangunkan.

"Ayo...bangun...bangun...sahur...sahur... hihihi..." tawanya meledek.
"Ngantuk..ngantuk...naon ieu..Haduh.." saya mengelak.
Saya membangunkan diri. Masih terduduk di kasur saya tidur. Dengan mata setengah memicing, saya perhatikan satu persatu siapa yang ada di kamar. Ada delapan orang lelaki di situ. Dan salah satunya adalah dia.

Dia mendekat, duduk di sebelah saya yang masih menempel dengan kasur. Sebuah kotak berisi donat-donat yang tertancap lilin disajikannya depan wajah saya. Di mulut pintu, ibu berdiri, memperhatikan kejadian di kamar.

"Saya suka sama Nisa, Bu, Pak. Sekalian, kalau Ibu ngijinin.... ya gitu...Mudah-mudahan bisa ngejalanin serius..."

Kejutan itu benar-benar mengejutkan. Bukan berasal dari donat dan lilin ulang tahun yang dia berikan, tapi kejutan yang menurut saya hanya laki-laki sejati yang melakukannya. Secara tak langsung, dia minta saya kepada orang tua untuk menjalin komitmen. Komitmen yang akan dijalani sampai akhir hayat, sampai hanya maut yang memisahkan. 

Saya ingat betul, saya dulu ingin sekali dilamar di puncak Anjani, Gunung Rinjani. Tapi ternyata, ada yang lebih indah, jauh lebih keren daripada itu. Subuh hari datang ke rumah, minta saya ke orang tua untuk ngajak berhubungan serius, itu lebih keren daripada apapun. Hanya laki-laki sejati yang bisa berbuat seperti itu. Meskipun dia datang bawa rombongan teman-teman sih. Hehehe. 

Saya tersipu malu sampai salah tingkah. Ini beneran ga sih? Ga mimpi kan? Gumam dalam hati. Hati berteriak girang. Ga pernah menyangka, ternyata dia-lah yang berani untuk menghadapi saya, menghadapi perempuan keras kepala yang suka semena-mena. Dan yang lebih berani, dia benar-benar mengajak ke langkah yang sangat serius. Si Pendiam berhasil membuat hati Si Keras Kepala luluh.

***

Hari dan minggu berlalu. Saya dan dia mulai merencanakan pernikahan. Dimulai dari waktu dan tempat acara. Awalnya, saya ingin tetap di tahun 2015. Tapi kenyataannya saat itu tidak memungkinkan untuk menikah di tahun itu, dimana target menikah ingin saya capai. Ada dua kondisi yang sangat prioritas yang harus didahulukan (maaf ga bisa diceritakan) dan hal ini membuat saya harus mengalah. 


Terkadang meleset dari keinginan itu biasa. Yang penting adalah bagaimana kita tetap berpendirian untuk terus merealisasikan rencana. Karena saya percaya, Tuhan selalu mempersiapkan yang lebih baik daripada yang saya duga.

23 Juli 2016

Dua minggu setelah lebaran tahun 2016. Musim kemarau belum kunjung tiba. Deras hujan meramaikan suasana yang sakral itu. Hari dimana dua manusia dipersatukan di hadapan Yang Maha Kuasa. Dua manusia yang diikat dengan akad, dipertemukan dengan cara yang tak pernah disangka. Hari ini kita dipercaya untuk saling percaya, saling dititipkan, saling menjaga, dan saling mengingatkan. Karena pernikahan adalah kerja sama dua manusia, bukan salah satu. Ketika kita sudah berkomitmen, kita tahu bahwa mengikat komitmen ini bukan hanya antara kita, tapi juga dengan Yang Maha Mempertemukan.

Dan saya, berhenti di kamu, IFAN NUGRAHA DWIYANA.

Kamu yang tak pernah terlintas 
kini menjadi pantas
Kamu yang tak pernah dipertanyakan 
kini menjadi jawaban 
Kamu yang tak pernah hadir 
kini menjadi takdir



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kamu yang Tak Pernah Hadir, Kini Menjadi Takdir"