Unit Terkecil dalam Pendidikan yang Efek Ketahanannya Besar. Apakah Itu?

Keluarga. Lebih rinci lagi. Ketahanan keluarga. Rusak di keluarga, bisa rusak semuanya. Kokoh di keluarga, insyaAllah kokoh ke depannya.

Kita lihat fenomena saat ini. Pernah lihat gak anak kecil SD udah manggil ayah-bunda, mama-papa, ayang-ayangan dengan lawan jenisnya? Atau sudah mencium lawan jenisnya dengan mesra, berpegangan tangan seolah dunia milik berdua, yang lain ngontrak. Pernah gak lihat anak yang rela melepas hijab demi uang atau ketenaran? Demi apresiasi demi pujian. Joget-joget gak jelas agar banyak dilirik dan di-love sama banyak orang? Atau melakukan prank dan challenge viral agar dianggap pemberani dan mengikuti jaman? Padahal konyol. Naudzubillahi min dzalik.

Tapi itulah realitanya. Apa akar yang rusak dari semuanya? Keutuhan keluarga, ketahanan keluarga. Mereka adalah anak-anak yang sebenarnya berayah dan ber-ibu secara fisik, tapi tidak secara psikis. Ayah ibunya ada, tapi terlalu sibuk bekerja sehingga tidak ada menejemen yang baik untuk mendidik keluarga. Atau sebenarnya orang tuanya ada tapi tidak menanamkan value Al-Qur'an dalam kesehariannya. Menormalisasikan nilai-nilai yang tidak seharusnya, seperti berpacaran, memperlihatkan bagian tubuh vital, dan lainnya.

Anak-anak ini rentan terpengaruh oleh lingkungan luar. Tidak ada pondasi diri, runtuh, bahkan sampai rela meninggalkan rumah untuk mencari validasi dari orang lain yang mampu menghargai anak kita.

Padahal, unit terkecil peradaban adalah keluarga. Ayah dan ibu yang kokoh akan melahirkan anak-anak yang kokoh. Kokoh berjalan dengan value-Nya Allah. 

Saya jadi sadar juga. Budaya negeri kita masih banyak yang menyangka bahwa mendidik anak hanya tugas seorang ibu. Padahal secara fitrah, penanggung jawab pendidikan anak adalah ayah. Ayahlah yang seharusnya kokoh lebih dulu, kemudian mengokohkan istrinya dalam pernikahan, kemudian kekokohan itu berlanjut hingga ke keturunan selanjutnya.

Tapi nyatanya, masih banyak anak lelaki yang dimatikan rasa kemanusiaannya, semisal dilarang menangis karena menangis itu dianggap lemah sehingga anak lelaki tumbuh menjadi anak yang nirempati dan tidak peka terhadap sesama manusia. Dalam lingkup pernikahan, banyak suami tidak peka terhadap istri dan anak. Ini sangat bahaya. Banyak pola asuh anak lelaki dengan mengabaikan perasaan mereka. Dampak jangka panjangnya : ketahanan keluarga rentan runtuh. Makanya karena masih banyak pria yang belum selesai dengan dirinya sehingga wanita terpaksa menjadi lebih maskulin. Dan ini terjadi pada ibu saya bahkan diri saya sendiri saat saya belum menikah.

Lagi-lagi fatherless. Fatherless membuat kadar sisi maskulinitas saya dan ibu saya bertambah. Kami berdua terlalu tangguh untuk beberapa urusan lelaki seperti mencari uang, angkut-angkut yang berat, dan menentukan beberapa keputusan hidup yang seharusnya didiskusikan dengan laki-laki tapi kami tidak melakukannya karena sering kecewa dengan keputusan lelaki. Tapi keadaan memaksa kami sehingga hampir saja saya tidak butuh sosok lelaki.

Semandiri-mandirinya wanita, tetap fitrahnya ingin dilindungi, ingin disayangi, dan ingin melayani lelaki sebagaimana mestinya, bukan hanya bicara sumur, dapur, dan kasur, tapi melayani suami sebagai pelipur, mendengarkan cerita dan bercanda dengan suami. Sepenting itu komunikasi dengan pasangan.

Sisi maskulin itu penting untuk wanita agar tetap lembut namun tidak rapuh. Namun kalau terlalu kuat juga kurang baik, dikhawatirkan muncul anggapan bahwa lelaki lemah dan gak bisa apa-apa. Rentan perceraian. Ada rasa persaingan yang ingin dilakukan, padahal peran lelaki dan wanita berbeda bukan untuk bersaing, tapi untuk saling melengkapi. Ketika Allah menciptakan perbedaan lelaki dan wanita, bukan berarti ada yang lebih unggul dan tidak, tapi karena ada peran fitrah masing-masing yang akan saling menyempurnakan.

Sepertinya saya perlu mengatakan ini kepada para wanita atau para ibu yang juga sisi maskulinitasnya terlalu tinggi. Terkadang, kita perlu pura-pura lemah di hadapan suami. Pura-pura lemes kalau angkat galon, pura-pura capek kalau buka tutup kaleng, pura-pura bingung memilih, pura-pura apa aja deh. Atau banyak berdiskusi dan bertanya pada suami ketika kita mengambil keputusan. Untuk apa? Agar pride suami tidak hilang, karena sejatinya mereka adalah makhluk yang senang melindungi kita, suami senang jika kita merasa membutuhkan dirinya. Ketika mereka bisa melakukan sesuatu untuk kita istrinya, maka sisi maskulinitasnya meningkat. Jangan semua dilakukan oleh istri meskipun kita bisa, kecuali melahirkan, haid, dan menyusui. He he he. Agar lelaki tetap ada harga dirinya dan merasa tetap dibutuhkan oleh kita.

Mendidik anak lelaki berarti mendidik calon ayah dan calon pemimpin. Didik mereka sesuai fitrahnya, maka fitrah-fitrah kitapun akan ikut tumbuh dan berkembang.

Barakallaahu fiik.



(Insight Seri #9 Fitrah Based Education Series with Maestro bersama Profesor Euis Sunarti, M. Si., guru besar IPB, founder Perkumpulan Penggiat Keluarga Indonesia dan Ketua Umum KNPK Indonesia)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Unit Terkecil dalam Pendidikan yang Efek Ketahanannya Besar. Apakah Itu?"