Puan Petaruh Nyawa


Tangannya merangkul pundak seseorang di sebelahnya. Sesekali jemari mereka saling mengait. Sambil mengobrol santai, terkadang wajah putih dengan rambut panjangnya itu bersandar pada pemilik bahu yang lebih rendah darinya, pemilik seseorang yang terselip rambut putih di sela-sela ratusan ribu surai hitamnya. Baju gelap dan sarung kain Kajang yang dikenakan tak menjadi masalah untukku. Aku tidak melihat apa yang mereka balut pada raganya. Aku sedang merasakan apa yang sedang terjadi di depan mataku. Sikap dara dewasa itu seketika mengingatkanku pada puan yang tak pernah lepas dari benakku. Jauh beratus-ratus kilometer dari titik aku berdiri. Ibu.

Kak Ramlah adalah anak ketiga Amma Towa dan Ibu Bombo. Dari empat bersaudara, dia satu-satunya yang belum menikah. Usianya sudah lebih dari seperempat abad. Lulusan dari sebuah perguruan tinggi di Makassar, kota dimana modernisasi sudah sangat merajalela, tak membuat dia lupa pada kampung halaman dan adat budayanya. Aku suka sikapnya yang seperti itu. Dan aku sangat suka cara dia memperlakukan ibunya.

Petualanganku sudah berjalan hampir dua bulan. Suatu dini hari sebelum tidur, aku pernah menulis pada sebuah media sosial milikku. Sial, aku hanya perempuan pecundang yang tidak berani mengatakannya langsung pada Ibu. Anak macam apa aku ini.

"Selamat pagi, perempuan terbaik. Dari jauh aku bersimpuh, untukmu yang terduduk termangu, semoga doaku tak pernah lumpuh. Ibu."

Kau tahu apa yang Ibu balas atas tulisanku?
Kalimat yang seketika membungkam ketika aku membacanya. Kalimat yang tidak bisa aku balas lagi. Ingin rasanya meminta dengan amat sangat pada Tuhan, dengan segala kuasa-Nya memindahkan posisiku seketika di samping Ibu, kemudian memeluknya.

"Kamu anakku... Tapi kau bukan milikku. "Pemilik Sejatimu" selalu menjagamu dengan perlindungan-NYA..."

Aku masih ingat ketika rautnya yang kemerahan sehabis menangis, mengantarkanku memulai langkah untuk berkelana. Aku masih ingat cara Ibu tersenyum di atas parasnya yang sembab itu. Masih ada bekas bayangan ketika jilbabnya sedikit basah karena beliau menyeka wajahnya yang terkena air mata. Pelukan terakhir Ibu di Bulan April itu, masih aku bawa. Dua rangkai tulang rusuk yang saling beradu hangat, dekap tangan yang erat, dan kalimat "jaga diri" yang selalu aku putar dalam rekaman otak. Belum aku lupa sampai sekarang.

Mengapa aku menulis ini? Entahlah.
Kawanku Wildan pernah berkata,"Hari peringatan diperuntukan untuk orang-orang yang lupa."
Aku pikir tak perlu menunggu 22 Desember untuk mengingat Ibu.
Apa Ibu selalu menanti tanggal 23 Juli untuk selalu mendoakan kita?
Aku yakin tidak.

Tak kan ada habisnya berbicara tentang Ibu. Mengingat kisah-kisahnya bisa saja membuatmu menyesal dan segera mungkin menyayat-nyayat urat nadimu. Tapi itu tidak perlu kau lakukan. Cukup menjadi manusia yang lebih menyayangi Ibu-mu dengan tindakan daripada hanya berlisan dan besar bicara seperti aku. 

Satu perempuan yang tidak perlu kau perhitungkan. Tak perlu kau sebut apa-apa yang telah kau lakukan untuknya. Sudahlah, yang beliau beri tak kan mampu kita ganti dengan apapun. Jika keberadaannya tidak ada lagi di dunia, bukan berarti cintamu padanya juga tiada, kan?

Ah, segini saja dulu. Tak suka kalau tak terlalu banyak. Semoga tayangan video yang dibuat oleh tiga orang keren : Fadh (penulis), Fiersa (musisi), dan Futih (seniman visual), dalam Revolvere Project ini membantumu yang sedang krisis kasih sayang terhadap perempuan yang tak pernah lepas menutur doa di setiap alir hidupmu. Aku bukan hanya sedang menjalankan sebuah petualangan Sang Saka, tapi juga petualangan rasa :)

Apologia Sebuah Nama.
Didedikasikan untuk seluruh Ibu di dunia.

Barangkali ibu kita memang bukan ibu terbaik di dunia. sebab kita juga bukan anak terbaik di dunia - Fahd Djibran

Hari pun terus berlalu
Tak terasakan olehku
Ku telah sering melukai hatimu
Namun kau sabar menunggu 
Terus berdoa untukku
Kapankah ku akan sadar hal itu

Maafkan aku membuat menangis sendu
Kutak bermaksud mengecewakanmu

Oh, Ibu... 
Berikanlah kasihmu
Hadapi kelakuanku
Semua sifat burukku

Oh, Ibu... 
Berikanlah maafmu
Sungguh bukan maksudku
Membuatmu slalu menangis sendu

Waktupun terus berlalu
Tak bisa ku ubah masa lalu
Tak bisa terlupa semua kejahatanku

Namun bila kau dengar lagu
Lagu yang tercipta untukmu
Kumohon maafkanlah semua kesalahanku

Maafkan aku membuat menangis sendu
Ku tak bermaksud mengecewakanmu

Oh, Ibu... 
Berikanlah kasihmu
Hadapi kelakuanku
Semua sifat burukku

Oh, Ibu... 
Berikanlah maafmu
Sungguh bukan maksudku
Membuatmu slalu menangis sendu

-Fiersa Besari

Gowa, 13 Juni 2013
03.00 WITA

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Puan Petaruh Nyawa"